Pangan Lokal seperti singkong diakui kalangan Akademis
Sumber daya genetik umbi-umbian sangat banyak di Indonesia, hanya dalam sumberdaya manusia SDM baik dari petani , pengolah bahkan konsumennya harus selalu di berikan kesadaran. Agar lebih diberikan sosialisasi-sosialisasi mengenai bahan pangan seperti umbi-umbian ini.
Mengubah perilaku orang Indonesia untuk makan selain nasi memang menjadi tantangan tersendiri, padahal untuk memenuhi kecukupan pangan harian, makan bisa beragam dan tak hanya nasi. Masyarakat cenderung mengonsumsi nasi, bukan hanya faktor harga, tetapi telah ada kesan nasi lebih enak dan gaya hidup.
“ Memenuhi kecukupan harian bisa dengan beragam pangan dan tidak hanya nasi saja. Asal tercukupi karbohidrat, protein tercukupi . Masyarakat cenderung mengkonsumsi nasi karena sudah menjadi gaya hidup, jadi ini persoalan persepsi. Kita perlu mengubah persepsi secara nasional terhadap pangan kita. Kalau tidak dilakukan sacara struktur dan sistematik, kita sulit. Ini yang melakukan harus pemerintah ”.Kata Achmad Subagio
Hal tersebut di sampaikan oleh Guru Besar Universitas Jember, Achmad Subagio kepada tabloidsinartani.com ketika berdiskusi jelang Webinar “Makan Singkong Bikin Sehat” dalam acara TABLOID SINAR TANI bersama Badan Ketahanan Pangan, Kamis (12/08/21).
Dalam diskusi webinar Achmad Subagio menyampaikan, Singkong ada dalam lini kehidupan masyarakat Indonesia. Sayangnya bangsa Indonesia tidak sadar hal itu. Dengan produksi singkong mencapai 20 juta ton/tahun, kebutuhan untuk pangan hingga kini masih sangat sedikit. Paling besar untuk pakan, agrokimia dan kelompok lain seperti MSG dan makanan olahan.
Untuk mendorong nilai, Achamad Subagio merasa perlu lebih dikembangkan penyediaan pangan berbahan baku ubi kayu melalui pemberdayaan UMKM pangan lokal. Khususnya, meningkatkan ketersediaan ubi kayu dan olahannya sebagai substitusi pangan pokok.
“Kita perlu mereposisi pangan singkong menjadi pangan yang prestise,” katanya.
Tak hanya itu, supply chain dari pangan lokal khususnya singkong juga diperbaiki, agar di hulu (petani) memiliki kepastian harga dan saluran distribusi dengan industri olahan mulai dari UMKM hingga industri makanan minuman. Kemudian untuk strategi lainnya adalah dengan mengembangan industri bernilai tambah tinggi, berbasis singkong dan produk antaranya.
“Selama ini, harga tepung mocaf selalu tinggi karena supply chain yang bermasalah, terutama di hulu. Menguasai hulu ini bisa dengan berbagai cara, bisa dengan plasma inti, contract farming dan sebagainya, harus membuat strategi agar mengembangkan industri yang bernilai tinggi berbasis singkong. Langkah ini memerlukan kerjasama dan komitmen stakeholder besar dan pemerintah pusat untuk sama-sama menwujudkannya,” Jelas AchmadSubagio. (Artikel tayang di tabloidsinartani.com )